Sabtu, 11 Januari 2014

Kaedah ke-2: Yang Dinilai Adalah Keumuman Lafaz Bukan Kekhususan Sebab




Kaedah ini sangat bermanfaat sekali. Dengan memperhatikan kaedah ini seorang akan mendapatkan ilmu dan kebaikan yang banyak. Sebaliknya dengan tidak memperdulikannya akan terluput dari ilmu yang banyak, sehingga akan terjerumus kepada kesalahan dan bahaya.
Kaedah ini telah disepakati oleh para pengkaji dari ulama usul dan lainnya. Barangsiapa mempedomani kaedah ini dengan sebenarnya, maka akan mengetahui bahwa perkataan seorang ulama tafsir mengenai asbabun nuzul (sebab diturunkannya ayat), adalah sekedar contoh untuk menjelaskan lafaz dan bukan makna lafaz. Makna ayat tersebut juga bukan sebatas itu. Perkataan mereka, “Ayat ini diturunkan mengenai ini dan ini…” Maksudnya ini adalah di antara yang terkandung di dalamnya dan termasuk yang dimaksudkan olehnya. Sesungguhnya Al-Qur’an diturunkan sebagai petunjuk bagi umat sejak awal hingga akhir, di mana saja dan dalam keadaan apa saja. 

Allah memerintahkan kita untuk memikirkan dan mentadabburi kitab-Nya. Apabila kita mentadabburi lafaz-lafaznya yang umum dan kita memahami maknanya yang mencakup banyak hal, maka mengapa kita mengecualikan sebagian makna ini, padahal ia sama dengan yang lainnya? Itulah sebabnya Ibnu Mas’ud berkata, “Apabila anda mendengar Allah berfirman, ‘Wahai orang-orang yang beriman,’ maka fokuskan pendengaranmu, karena ada kebaikan yang diperintahkan atau kejelekan yang dilarang.”
Apabila anda membaca khabar (ayat) mengenai nama-nama dan sifat-sifat Allah, yang berhak untuk diberikan kesempurnaannya dan dihindarkan dari kekurangannya, maka hendaklah anda tetapkan semua makna yang sempurna tadi sebagaimana ditetapkan oleh Allah sendiri dan sucikan dari segala (kekurangan) yang Allah sendiri telah mensucikannya untuk diri-Nya.
Demikian halnya jika lewat di depan anda khabar (ayat) mengenai para rasul dan kitab-Nya, hari Akhir dan segala pristiwa yang telah dan akan terjadi, maka benarkanlah dengan tidak ada keraguan di dalamnya mengenai hakikatnya, bahkan ia merupakan kebenaran dan kejujuran yang paling tinggi, Allah berfirman:
 “Dan siapakah yang lebih benar perkataannya dari pada Allah?” (QS. An-Nisa’: 132)
Allah juga berfirman:

“Dan siapakah orang yang lebih benar perkataan(nya) dari pada Allah ?” (QS. An-Nisa’: 87)
Apabila Al-Qur’an menyuruh kepada sesuatu, maka anda mesti melihat kepada maknanya, apa saja yang perlu masuk dan yang tidak perlu, anda akan mengetahui bahwa perintah tersebut ditujukan kepada semua umat. Demikian pula yang berkenaan dengan larangannya.
Itulah sebabnya, mengetahui batasan apa yang diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya, merupakan asas segala kebaikan dan keberuntungan. Sebaliknya tidak mengetahui batasan tersebut merupakan asas segala kejelekan dan kerugian.
Memperhatikan kaedah ini merupakan penolong yang paling besar untuk mengetahui batasan apa yang diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya serta dalam melaksanakannya. Al-Qur’an telah mengumpulkan makna yang paling mulia, bermanfaat dan paling benar dengan redaksi yang paling jelas dan paling baik, Allah berfirman:
 “Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.” (QS. Al-Furqan:33)

Kaedah ke-3:

Alif dan lam yang masuk ke dalam sifat dan isim jenis, bermaksud istighraq (mencakupi semuanya), sesuai dengan apa yang dikandungnya. Demikianlah yang telah dikatakan oleh ulama Ushul dan ahli bahasa. Kaedah ini juga telah disepakati penggunaannya oleh para ahli ilmu dan iman. Contohnya firman Allah:
 “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Ahzab: 35)

Semua yang dikandung dalam makna Islam, iman, istiqamah dalam keimanan, kejujuran dan lainnya akan termasuk ke dalam kriteria ini. Semakin sempurna sifat ini, maka pemiliknya akan semakin sempurna dan akan berdampak kepada ampunan dan pahala yang besar baginya. Demikian sebaliknya, semakin kurang sifat tersebut, akan berkurang ampunan dan pahala kepada pemiliknya. Apabila sifat tersebut  tidak dimilikinya, maka ia tidak akan mendapatinya (ampunan dan pahala). Demikian pula halnya dengan setiap sifat yang dijanjikan kebaikan, pahala dan ganjaran. Begitu sebaliknya, semua sifat yang dilarang oleh Allah dan para pemiliknya diancam dengan hukuman, kejelekan dan kekurangan, maka seseorang mendapatinya seukuran sifat yang ada pada dirinya.
Contoh lainya adalah firman Allah:
“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir.” (QS. Al-Ma’aarij: 19-21)
Ayat ini mencakup semua manusia. Semua manusia bersifat seperti ini, kecuali orang-orang yang dikecualikan oleh Allah dalam firman-Nya:
 Kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat. Yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya. Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu. Bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta).” (QS. Al-Ma’aarij: 19-21)
Demikian halnya dengan firman Allah:
 Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian.” (QS. Al-Ashr: 1-2)
Ia menunjukkan bahwa semua manusia akibat dan kesudahannya adalah kerugian:
 “Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al-Ashr: 3)
Contoh yang seperti itu banyak sekali.
Kaedah ini lebih difungsikan lagi terutama berkenaan dengan nama dan sifat Allah. Hal ini banyak disebutkan dalam Al-Qur’an. Ia termasuk ilmu yang paling agung bahkan menjadi tujuan utama Al-Qur’an. Contohnya Allah memberitahukan tentang diri-Nya, bahwasanya Dia Tuhan Al-Hayyu Al-Qayyum (Yang Maha Hidup lagi Mengawasi). Dia Allah Al-Malik (Maha Memiliki), Al-‘Alim (Maha Mengetahui), Al-Hakim (Maha Bijaksana), Al-Aziz (Maha Perkasa), Ar-Rahim (Maha Penyayang), Al-Quddus (Maha Suci), As-Salam (Maha Pemberi Keselamatan), Al-Hamid (Maha Terpuji), Al-Majid (Maha Mulia) dan lainnya. Allah yang memiliki semua makna rububiyah dan berhak untuk diibadahi. Semuanya merupakan sifat kesempurnaan. Segala hal yang terpuji adalah milik-Nya. Semua karunia dan kebaikan adalah bagi-Nya. Tidak ada seorangpun yang bersekutu dengan-Nya dalam salah satu makna rububiyah, Allah berfirman:
 “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (QS. Asy-Syuura: 11)

Tidak ada seorang manusia dan juga malaikat (yang serupa dengan-Nya). Mereka semua adalah hamba yang bertuhan kepada Rabb-nya dengan segala bentuk rububiyah. Mereka tunduk dan patuh kepada kemuliaan dan keagungan-Nya. Tidak ada seorangpun yang patut untuk menjadi tandingan-Nya dan tidak ada sekutu bagi Allah dalam beribadah kepada-Nya. Dengan rububiyah-Nya Allah mengatur semua malaikat, nabi dan lainnya, baik mengenai rizki, pengaturan, kehidupan maupun kematiannya. Mereka semua bersyukur kepada Allah dengan mengikhlaskan segala bentuk ibadah hanya kepada-Nya. Mereka beribadah kepada-Nya yang tidak mengambil wali dan penolong selain Allah. Ibadah merupakan hak Allah pada hamba-Nya sesuai dengan sifat rububiyah-Nya. Dia adalah Penguasa yang memiliki semua makna kekuasaan. Dia adalah Pemilik yang sempurna dan bertindak sekehendak-Nya. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Tidak ada sesuatu yang tersembunyi bagi-Nya, baik di bumi maupun di langit. Ilmu-Nya meliputi segala yang zahir dan bathin, yang tersembunyi dan yang nampak, yang wajib, mustahil dan ja’iz (boleh), semua pristiwa yang terdahulu dan yang akan datang. Dia mengetahui yang tinggi dan yang rendah, yang kulliyat (menyeluruh) atau juz’iyyat (parsial), mengetahui apa yang diketahui oleh makhluk dan yang tidak diketahuinya, Allah berfirman:
 “Dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya. Dan Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.” (QS. Al-Baqarah: 255)

Allah Maha Bijaksana yang memiliki kebijaksanaan yang sempurna dan menyeluruh kepada semua qadha’, qadar dan penciptaan-Nya serta segala yang disyariatkan-Nya. Tidak ada yang dapat keluar dari kebijaksanaan-Nya, baik makhluk maupun syariat-Nya.
Allah Maha Perkasa yang memiliki semua makna keperkasaan yang sempurna dari segala aspek. Perkasa dalam kekuatan dan mencegah, Perkasa dalam memaksa dan mengalahkan. Semua makhluk berada dalam puncak ketundukan dan kefakiran. Mereka butuh dan bergantung kepada Tuhannya. Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, yang memiliki semua makna rahmat yang meliputi segala sesuatu. Tidak ada satu makhluk yang terlepas daripada ihsan dan kebaikan-Nya walaupun sekejap mata. Rahmat-Nya mencapai segala sesuatu yang dicapai oleh ilmu-Nya, sebagaimana firman-Nya:
 “Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu.” (QS. Ghafir/Al-Mu’min: 7)
Allah Yang Maha Suci dan Maha Sejahtera, yang diagungkan dan disucikan dari segala aib, kejelekan, kekurangan dan diserupakan oleh seseorang serta disucikan dari memiliki tandingan dari makhluk-Nya.

Demikian seterusnya pada nama dan sifat Allah yang lainnya. Fahamilah dengan kaedah yang agung ini, niscaya akan terbuka bagimu pintu ma’rifatullah yang besar. Bahkan asas dari mengenal Allah adalah mengenal apa yang dikandungi oleh nama-nama-Nya yang indah dan maknanya yang agung, seukuran kemampuan hamba.Oleh karena tidak ada ilmu seorangpun yang mencapai taraf itu. Tidak ada seorangpun yang mampu memuji-Nya, namun Allah sebagaimana yang Dia puji sendiri dan di atas apa yang dipuji oleh hamba-Nya.

Contoh lain daripada kaedah ini adalah sebagaimana firman Allah:
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al-Maidah:2)

Ayat ini mencakup semua jenis Al-Birr (kebaikan). Ketakwaan meliputi segala apa yang semestinya ditakuti dari semua macam maksiat dan yang diharamkan. Al-Itsm adalah nama yang mencakup segala yang dicela dan dapat menjerumuskan kepada kemaksiatan. Sebagaimana al-‘udwan (pelanggaran) merupakan sebuah nama yang mencakupi segala macam pelanggaran, baik kepada manusia pada darah, harta dan kehormatannya, pelanggaran kepada kumpulan manusia, kepada pemerintah dan pelanggaran kepada ketentuan-ketentuan Allah.
Di dalam Al-Qur’an istilah al-ma’ruf  maksudnya adalah sebuah istilah yang mencakup semua yang sudah diketahui kebaikannya dan keindahannya, baik oleh syarak maupun akal. Lawannya adalah kemungkaran, kejelekan dan kejahatan.
Rasulullah telah mengingatkan umatnya kepada kaedah ini dan membimbing mereka agar mengambil pelajaran darinya, ketika mengajarkan tasyahhud dalam shalat, yaitu:
السلام علينا وعلى عباد الله الصالحين
Rasulullah bersabda:

Sesungguhnya jika kamu membacanya, maka kamu telah mengucapkan salam kepada semua hamba Allah yang shalih dari penduduk langit dan bumi.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)[1]
Di dalam Al-Qur’an banyak sekali terdapat contoh-contoh seperti ini.

Kaedah ke-4:

Apabila ada nakirah  yang jatuh setelah an-nafi (penafian), an-nahi (pelarangan), asy-syarth dan al-istifham (pertanyaan), maka ia menunjukkan umum. Sebagaimana firman Allah:
 “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun.” (QS. An-Nisa’:36)
Ayat ini menunjukkan larangan berbuat syirik pada niat, perkataan dan perbuatan. Larangan juga dari syirik besar, kecil, tersembunyi dan yang jelas. Tidak sepatutnya membuat sekutu bagi Allah pada semua yang telah disebutkan.
Contohnya lagi adalah firman Allah:
“Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah:22)
Firman Allah dalam menceritakan hari Kiamat:

“(Yaitu) hari (ketika) seseorang tidak berdaya sedikitpun untuk menolong orang lain dan segala urusan pada hari itu dalam kekuasaan Allah.” (QS. Al-Infithar:19)
Ia mencakup semua orang dan pada hari itu dia tidak memiliki sesuatu apapun untuk siapapun, walaupun bagaimanapun erat hubungannya. Dia tidak dapat memberikan sesuatu yang bermanfaat atau mencegah sesuatu yang memudaratkannya.

Firman Allah yang lain:
 “Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak karunia-Nya.”(QS.Yunus:107)
Segala kemudharatan yang telah ditakdirkan oleh Allah pada hamba, tidak akan ada seorangpun yang mampu menghilangkannya walau sedikitpun. Paling tinggi apa yang bisa diperbuat oleh makhluk berupa usaha dan pengobatan adalah salah satu dari bagian yang juga termasuk takdir Allah.

Firman Allah juga:
 “Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorangpun yang dapat menahannya. Dan apa saja yang ditahan oleh Allah, maka tidak seorangpun yang sanggup melepaskannya sesudah itu. Dan Dia-lah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Faathir: 2)
Dan firman Allah:
 “Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya).” (QS. An-Nahl: 53)
Ia mencakup semua kebaikan kepada hamba dan apa yang menimpanya. Segala nikmat untuk mendapatkan apa yang dicintai dan menolak apa yang dibenci, sesungguhnya Allah sendiri yang dapat melakukan semua itu.

Allah juga berfirman;
 “Adakah Pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezki kepada kamu dari langit dan bumi ? tidak ada Tuhan selain Dia.” (QS. Faathir:3)
Apabila masuk huruf min maka menjadi nas yang umum, sebagaimana ayat berikut ini:
 “Maka sekali-kali tidak ada seorangpun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami) dari pemotongan urat nadi itu.” (QS. Al-Haaqqah: 47)
Firman Allah juga:
 “Sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain-Nya.” (QS. Al-A’raf: 59)
Kaedah memiliki banyak contoh yang lainnya.

Kaedah ke-5:

Telah disepakati bahwasanya al-mudhaf dan isim jamak menunjukkan umum
Contohnya firman Allah:
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang Telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa’: 23)
Ayat ini mencakup semua ibu yang anda dinasabkan kepadanya dan seterusnya ke atas (nenek, ibunya nenek dst), juga setiap anak perempuan yang ia dinasabkan kepadamu dan seterusnya ke bawah (cucu, anaknya cucu dst).
Demikian juga dengan firman Allah:
 “Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya).” (QS. An-Nahl: 53)
Ia mencakup nikmat agama dan dunia.
Firman Allah yang lainnya:
“Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al-An’am: 162)
Ia mencakup semua shalat, ibadah dan segala yang terjadi pada hamba ketika hidup dan setelah matinya. Semuanya dari Allah sebagai bentuk karunia dan kebaikan-Nya. Anda telah melakukan salah satu darinya dan mengikhlaskannya hanya untuk Allah semata dan tidak ada sekutu bagi-Nya.

Firman Allah juga:
 “Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim sebagai tempat shalat.” (QS. Al-Baqarah: 125)
Menurut salah satu pendapat bahwasanya ia mencakup semua maqam Ibrahim di tempat-tempat haji, disuruh untuk menjadikannya sebagai tempat shalat.
Ada yang lebih jelas dari ayat ini, yaitu firman Allah:
 “Kemudian kami wahyukan kepadamu (Muhammad): "Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif,” (QS. An-Nahl: 123)
Ini mencakup semua yang dimiliki oleh Nabi Ibrahim berupa tauhid, keikhlasan beribadah kepada Allah dan memenuhi hak ubudiyah. Ada yang lebih umum dan lebih mencakupi lagi, yaitu firman Allah:
 “Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka.” (QS. Al-An’am: 90)
Allah memerintahkan untuk untuk mengikuti apa yang dimiliki oleh para rasul terdahulu, berupa hidayah yaitu ilmu yang bermanfaat, akhlak yang mulia, amal shalih dan petunjuk yang lurus.
Ayat ini merupakan salah satu dalil atas salah satu kaedah yang sangat terkenal, yaitu “syariat sebelum kita menjadi syariat kita apabila tidak ada syariat kita yang menolaknya”. Syariat para nabi terdahulu adalah petunjuk bagi mereka dalam prinsip-prinsip agama dan cabangnya.
Demikian juga dengan firman Allah:
 “Dan bahwa (yang kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah ia.” (QS. Al-An’am: 153)
Ayat ini mencakup semua yang disyariatkan Allah kepada hamba-Nya; perbuatan atau larangan, akidah atau amalan. Dia menyandarkannya kepaa diri-Nya (shirathi) dalam ayat ini, karena Dia yang menetapkannya untuk hamba-Nya. Sebagaimana Dia menyandarkannya (jalan) kepada orang-orang yang telah diberikan nikmat kepada mereka, sebagaimana firman-Nya:
 “(Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (QS. Al-Fatihah: 7)
Oleh karena mereka (Yahudi dan Nashrani) yang menempuhnya. Jalan orang-orang yang telah diberi nikmat kepada mereka, adalah jalannya para Nabi, orang-orang yang jujur, para syuhada dan orang-orang yang shalih. Mereka senantiasa berada di atasnya dan memiliki ilmu, akhlak, sifat dan amal.
Firman Allah juga:
 “Dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya.” (QS. Al-Kahfi: 110)
Termasuk ke dalamnya adalah semua ibadah yang zahir dan yang bathin, ibadah hati dan perbuatan. Sebagaimana Allah memberikan sifat ubudiyah kepada Rasulullah dengan menyandarkannya kepada diri-Nya, Allah berfirman:
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam.” (QS. Al-Isra’: 1)
Juga firman Allah:
“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami.” (Al-Baqarah: 23)
Firman Allah juga:
 “Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqaan (Al-Qur’an) kepada hamba-Nya,.” (QS. Al-Furqan: 1)
Kesemua ayat ini menunjukkan bahwa Rasulullah telah memenuhi semua maqam ubudiyah, sehingga mendapatkan kedudukan yang paling mulia, karena sebelumnya telah memenuhi semua maqam ibadah.
Firman Allah yang lain:
“Bukankah Allah cukup untuk melindungi hamba-hamba-Nya.” (QS. Az-Zumar: 36)

Setiap kali hamba lebih memenuhi hak-hak ubudiyah, setiap itu juga penjagaan Allah lebih banyak dan lebih sempurna untuknya. Sebaliknya setiap dia menguranginya, maka penjagaan Allah juga akan berkurang seukurannya.

Allah juga berfirman:

“Dan perintah Kami hanyalah satu perkataan seperti kejapan mata.” (QS. Al-Qamar: 50)

Firman Allah juga:

 “Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: "kun (jadilah)", maka jadilah ia.” (QS. An-Nahl: 40)

Ia mencakup semua perintah Allah yang qadariyyah dan yang kauniyyah. Ayat-ayat seperti ini dalam Al-Qur’an banyak sekali.

Kaedah ke-6:

Metode Al-Qur’an dalam menetapkan tauhid dan menafikan lawannya

Al-Qur’an seluruhnya adalah untuk menetapkan tauhid dan menafikan lawannya (syirik).  Kebanyakan dalam ayat Al-Qur’an Allah menetapkan tauhid uluhiyah dan mengikhlaskan ibadah kepada-Nya semata dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Allah juga memberitahukan bahwasanya semua Rasul diutus untuk menyeru kaumnya agar beribadah kepada Allah dan tidak mensekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Allah tidak menciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah kepada-Nya. Semua kitab dan para Rasul, bahkan fitrah dan akal yang sehat, bersepakat mengenai prinsip ini, yang merupakan asas segala asas. Barangsiapa yang tidak beragama dengan mengikhlaskan hati dan perbuatan dalam beribadah kepada Allah, maka amalnya batal, sebagaimana firman Allah:


“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. "Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Az-Zumar: 65)

Allah juga berfirman:

“Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (Al-An’am: 88)

Al-Qur’an menyeru manusia kepada apa yang telah terpatri dalam fitrah dan akal mereka, yaitu bahwasanya Allah sendiri yang mencipta dan mengatur serta memberi nikmat yang zahir dan yang bathin. Oleh karena itu Allah sendiri yang berhak untuk diibadahi dan tidak layak diberikan sedikitpun kepada selain-Nya. Semua makhluk tidak memiliki kemampuan sedikitpun untuk mencipta, tidak bisa memberikan manfaat dan menolak mudarat dari dirinya apalagi menjadikan orang lain tidak butuh kepada Allah.

Allah mengajak manusia kepada prinsip yang dipuji-Nya dan disanjungnya atas diri-Nya, yaitu sendiri dalam memiliki sifat yang agung dan terpuji, ketinggian dan kesempurnaan. Sesungguhnya yang memiliki kesempurnaan mutlak seperti ini dan tidak ada yang sekutu dengan-Nya, adalah paling berhak untuk mendapatkan keikhlasan ibadah hati dan perbuatan yang zahir dan yang bathin.

Dia menetapkan tauhid ini, bahwasanya Allah yang sendiri yang menetapkan hukum. Tidak ada selain Allah yang boleh menetapkan hukum baik secara syarak maupun sebagiannya, sebagaimana firman-Nya:


“Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia.” (QS. Yusuf: 40)

Terkadang Al-Qur’an menetapkan hal ini dengan menyebutkan keindahan tauhid. Sesungguhnya Islam adalah satu-satunya agama yang wajib diterima secara syarak, akal dan fithrah oleh semua manusia. Ia juga menyebutkan keburukan-keburukan syirik dan kerancuan akal pemiliknya setelah kerancuan agama mereka. Hati mereka terbalik dan mereka lebih sesat jalan daripada binatang.

Kadang-kadang ia juga menyeru kepada tauhid dengan menyebutkan balasan yang baik di dunia dan di Akhirat serta kehidupan yang baik di tiga tempat (dunia, barzakh dan Akhirat). Demikian juga menyebutkan balasan syirik berupa hukuman di dunia, sebagaimana jeleknya hukuman yang diterima oleh orang-orang musyrik.
Kesimpulannya, semua kebaikan yang cepat atau lambat adalah buah daripada tauhid. Sebaliknya segala keburukan yang cepat atau yang lambat adalah akibat dari kesyirikan, wallahu a’lam.



[1] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya dengan nomor 831, 1202, 6265, 6328, 7381) dan Muslim dalam Shahih-nya nomor 403, dari hadits Ibnu Mas’ud, beliau berkata, “Kami di belakang Rasulullah membaca, “Assalamu ‘Alallah, assalaamu ala fulan.” Suatu hari Rasulullah bersabda kepada kami, “Sesungguhnya Allah adalah As-Salam , apabila seorang duduk (tahiyyat) dalam shalatnya, maka hendaklah membaca:

Apabila membacanya, maka akan didapati oleh semua hamba Allah yang shalih di langit dan di bumi.”
(Kemudian membaca) tasyahhud:

Setelah itu dia bisa memilih doa yang dikehendakinya.”


-----------------------------------
Di terjemahkan oleh  Dr. Nurul Mukhlisin Asyrafuddin, Lc., M.Ag Dari Kitab
Qala’idul Jiman fi Qawa’id wa Ushul Tafsir al-Qur’an lil A’immati Ibnu Taimiyyah wal Qasimi Was Sa’di Penyusun Abu Abdullah Muhammad Riyadh Al-Ahmad
Al-Maktabah al-Ashriyyah- Beyrut

Tidak ada komentar:

Posting Komentar