Kaedah ini sangat
bermanfaat sekali. Dengan memperhatikan kaedah ini seorang akan mendapatkan
ilmu dan kebaikan yang banyak. Sebaliknya dengan tidak memperdulikannya akan
terluput dari ilmu yang banyak, sehingga akan terjerumus kepada kesalahan dan
bahaya.
Kaedah ini telah
disepakati oleh para pengkaji dari ulama usul dan lainnya. Barangsiapa
mempedomani kaedah ini dengan sebenarnya, maka akan mengetahui bahwa perkataan
seorang ulama tafsir mengenai asbabun nuzul (sebab diturunkannya ayat),
adalah sekedar contoh untuk menjelaskan lafaz dan bukan makna lafaz. Makna ayat
tersebut juga bukan sebatas itu. Perkataan mereka, “Ayat ini diturunkan
mengenai ini dan ini…” Maksudnya ini adalah di antara yang terkandung di
dalamnya dan termasuk yang dimaksudkan olehnya. Sesungguhnya Al-Qur’an diturunkan
sebagai petunjuk bagi umat sejak awal hingga akhir, di mana saja dan dalam
keadaan apa saja.
Allah memerintahkan
kita untuk memikirkan dan mentadabburi kitab-Nya. Apabila kita mentadabburi
lafaz-lafaznya yang umum dan kita memahami maknanya yang mencakup banyak hal,
maka mengapa kita mengecualikan sebagian makna ini, padahal ia sama dengan yang
lainnya? Itulah sebabnya Ibnu Mas’ud berkata, “Apabila anda mendengar Allah
berfirman, ‘Wahai orang-orang yang beriman,’ maka fokuskan pendengaranmu,
karena ada kebaikan yang diperintahkan atau kejelekan yang dilarang.”
Apabila anda membaca
khabar (ayat) mengenai nama-nama dan sifat-sifat Allah, yang berhak untuk
diberikan kesempurnaannya dan dihindarkan dari kekurangannya, maka hendaklah
anda tetapkan semua makna yang sempurna tadi sebagaimana ditetapkan oleh Allah
sendiri dan sucikan dari segala (kekurangan) yang Allah sendiri telah
mensucikannya untuk diri-Nya.
Demikian halnya jika
lewat di depan anda khabar (ayat) mengenai para rasul dan kitab-Nya, hari Akhir
dan segala pristiwa yang telah dan akan terjadi, maka benarkanlah dengan tidak
ada keraguan di dalamnya mengenai hakikatnya, bahkan ia merupakan kebenaran dan
kejujuran yang paling tinggi, Allah berfirman:
“Dan siapakah yang lebih benar perkataannya
dari pada Allah?” (QS. An-Nisa’: 132)
Allah juga berfirman:
“Dan siapakah orang yang lebih benar perkataan(nya) dari pada
Allah ?” (QS. An-Nisa’: 87)
Apabila Al-Qur’an menyuruh
kepada sesuatu, maka anda mesti melihat kepada maknanya, apa saja yang perlu masuk
dan yang tidak perlu, anda akan mengetahui bahwa perintah tersebut ditujukan
kepada semua umat. Demikian pula yang berkenaan dengan larangannya.
Itulah sebabnya,
mengetahui batasan apa yang diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya, merupakan
asas segala kebaikan dan keberuntungan. Sebaliknya tidak mengetahui batasan
tersebut merupakan asas segala kejelekan dan kerugian.
Memperhatikan kaedah
ini merupakan penolong yang paling besar untuk mengetahui batasan apa yang
diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya serta dalam melaksanakannya. Al-Qur’an
telah mengumpulkan makna yang paling mulia, bermanfaat dan paling benar dengan
redaksi yang paling jelas dan paling baik, Allah berfirman:
“Tidaklah orang-orang kafir itu
datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan
kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.”
(QS. Al-Furqan:33)
Kaedah
ke-3:
Alif dan
lam yang masuk ke dalam sifat dan isim jenis, bermaksud istighraq (mencakupi
semuanya), sesuai dengan apa yang dikandungnya. Demikianlah yang telah
dikatakan oleh ulama Ushul dan ahli bahasa. Kaedah ini juga telah disepakati
penggunaannya oleh para ahli ilmu dan iman. Contohnya firman Allah:
“Sesungguhnya laki-laki dan
perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan
perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar,
laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk,
laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa,
laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan
yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan
dan pahala yang besar.” (QS. Al-Ahzab: 35)
Semua yang dikandung
dalam makna Islam, iman, istiqamah dalam keimanan, kejujuran dan lainnya akan
termasuk ke dalam kriteria ini. Semakin sempurna sifat ini, maka pemiliknya
akan semakin sempurna dan akan berdampak kepada ampunan dan pahala yang besar
baginya. Demikian sebaliknya, semakin kurang sifat tersebut, akan berkurang
ampunan dan pahala kepada pemiliknya. Apabila sifat tersebut tidak dimilikinya, maka ia tidak akan
mendapatinya (ampunan dan pahala). Demikian pula halnya dengan setiap sifat
yang dijanjikan kebaikan, pahala dan ganjaran. Begitu sebaliknya, semua sifat
yang dilarang oleh Allah dan para pemiliknya diancam dengan hukuman, kejelekan
dan kekurangan, maka seseorang mendapatinya seukuran sifat yang ada pada
dirinya.
Contoh lainya adalah
firman Allah:
“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir.
Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapat
kebaikan ia amat kikir.” (QS. Al-Ma’aarij: 19-21)
Ayat ini mencakup
semua manusia. Semua manusia bersifat seperti ini, kecuali orang-orang yang
dikecualikan oleh Allah dalam firman-Nya:
“Kecuali
orang-orang yang mengerjakan shalat. Yang mereka itu tetap mengerjakan
shalatnya. Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu. Bagi
orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak
mau meminta).” (QS. Al-Ma’aarij: 19-21)
Demikian halnya
dengan firman Allah:
“Demi
masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian.” (QS.
Al-Ashr: 1-2)
Ia menunjukkan bahwa
semua manusia akibat dan kesudahannya adalah kerugian:
“Kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal shaleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan
nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al-Ashr: 3)
Contoh yang seperti
itu banyak sekali.
Kaedah ini lebih
difungsikan lagi terutama berkenaan dengan nama dan sifat Allah. Hal ini banyak
disebutkan dalam Al-Qur’an. Ia termasuk ilmu yang paling agung bahkan menjadi
tujuan utama Al-Qur’an. Contohnya Allah memberitahukan tentang diri-Nya,
bahwasanya Dia Tuhan Al-Hayyu Al-Qayyum (Yang Maha Hidup lagi
Mengawasi). Dia Allah Al-Malik (Maha Memiliki), Al-‘Alim (Maha Mengetahui),
Al-Hakim (Maha Bijaksana), Al-Aziz (Maha Perkasa), Ar-Rahim (Maha
Penyayang), Al-Quddus (Maha Suci), As-Salam (Maha Pemberi
Keselamatan), Al-Hamid (Maha Terpuji), Al-Majid (Maha Mulia) dan
lainnya. Allah yang memiliki semua makna rububiyah dan berhak untuk
diibadahi. Semuanya merupakan sifat kesempurnaan. Segala hal yang terpuji
adalah milik-Nya. Semua karunia dan kebaikan adalah bagi-Nya. Tidak ada
seorangpun yang bersekutu dengan-Nya dalam salah satu makna rububiyah, Allah
berfirman:
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia,
dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (QS. Asy-Syuura: 11)
Tidak ada seorang
manusia dan juga malaikat (yang serupa dengan-Nya). Mereka semua adalah hamba
yang bertuhan kepada Rabb-nya dengan segala bentuk rububiyah. Mereka
tunduk dan patuh kepada kemuliaan dan keagungan-Nya. Tidak ada seorangpun yang
patut untuk menjadi tandingan-Nya dan tidak ada sekutu bagi Allah dalam
beribadah kepada-Nya. Dengan rububiyah-Nya Allah mengatur semua
malaikat, nabi dan lainnya, baik mengenai rizki, pengaturan, kehidupan maupun
kematiannya. Mereka semua bersyukur kepada Allah dengan mengikhlaskan segala
bentuk ibadah hanya kepada-Nya. Mereka beribadah kepada-Nya yang tidak
mengambil wali dan penolong selain Allah. Ibadah merupakan hak Allah pada
hamba-Nya sesuai dengan sifat rububiyah-Nya. Dia adalah Penguasa yang
memiliki semua makna kekuasaan. Dia adalah Pemilik yang sempurna dan bertindak
sekehendak-Nya. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Tidak ada sesuatu yang
tersembunyi bagi-Nya, baik di bumi maupun di langit. Ilmu-Nya meliputi segala
yang zahir dan bathin, yang tersembunyi dan yang nampak, yang wajib, mustahil
dan ja’iz (boleh), semua pristiwa yang terdahulu dan yang akan datang. Dia
mengetahui yang tinggi dan yang rendah, yang kulliyat (menyeluruh) atau juz’iyyat
(parsial), mengetahui apa yang diketahui oleh makhluk dan yang tidak
diketahuinya, Allah berfirman:
“Dan mereka tidak mengetahui
apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah
meliputi langit dan bumi dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya. Dan
Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.” (QS. Al-Baqarah: 255)
Allah Maha Bijaksana
yang memiliki kebijaksanaan yang sempurna dan menyeluruh kepada semua qadha’,
qadar dan penciptaan-Nya serta segala yang disyariatkan-Nya. Tidak ada yang
dapat keluar dari kebijaksanaan-Nya, baik makhluk maupun syariat-Nya.
Allah Maha Perkasa
yang memiliki semua makna keperkasaan yang sempurna dari segala aspek. Perkasa
dalam kekuatan dan mencegah, Perkasa dalam memaksa dan mengalahkan. Semua
makhluk berada dalam puncak ketundukan dan kefakiran. Mereka butuh dan
bergantung kepada Tuhannya. Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, yang
memiliki semua makna rahmat yang meliputi segala sesuatu. Tidak ada satu
makhluk yang terlepas daripada ihsan dan kebaikan-Nya walaupun sekejap mata.
Rahmat-Nya mencapai segala sesuatu yang dicapai oleh ilmu-Nya, sebagaimana
firman-Nya:
“Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu
Engkau meliputi segala sesuatu.” (QS.
Ghafir/Al-Mu’min: 7)
Allah Yang Maha Suci
dan Maha Sejahtera, yang diagungkan dan disucikan dari segala aib, kejelekan,
kekurangan dan diserupakan oleh seseorang serta disucikan dari memiliki
tandingan dari makhluk-Nya.
Demikian seterusnya
pada nama dan sifat Allah yang lainnya. Fahamilah dengan kaedah yang agung ini,
niscaya akan terbuka bagimu pintu ma’rifatullah yang besar. Bahkan asas
dari mengenal Allah adalah mengenal apa yang dikandungi oleh nama-nama-Nya yang
indah dan maknanya yang agung, seukuran kemampuan hamba.Oleh karena tidak ada
ilmu seorangpun yang mencapai taraf itu. Tidak ada seorangpun yang mampu
memuji-Nya, namun Allah sebagaimana yang Dia puji sendiri dan di atas apa yang
dipuji oleh hamba-Nya.
Contoh lain daripada
kaedah ini adalah sebagaimana firman Allah:
“Dan tolong-menolonglah kamu
dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al-Maidah:2)
Ayat ini mencakup
semua jenis Al-Birr (kebaikan). Ketakwaan meliputi segala apa yang
semestinya ditakuti dari semua macam maksiat dan yang diharamkan. Al-Itsm adalah
nama yang mencakup segala yang dicela dan dapat menjerumuskan kepada
kemaksiatan. Sebagaimana al-‘udwan (pelanggaran) merupakan sebuah nama
yang mencakupi segala macam pelanggaran, baik kepada manusia pada darah, harta
dan kehormatannya, pelanggaran kepada kumpulan manusia, kepada pemerintah dan
pelanggaran kepada ketentuan-ketentuan Allah.
Di dalam Al-Qur’an istilah
al-ma’ruf maksudnya adalah sebuah
istilah yang mencakup semua yang sudah diketahui kebaikannya dan keindahannya,
baik oleh syarak maupun akal. Lawannya adalah kemungkaran, kejelekan dan
kejahatan.
Rasulullah telah
mengingatkan umatnya kepada kaedah ini dan membimbing mereka agar mengambil
pelajaran darinya, ketika mengajarkan tasyahhud dalam shalat, yaitu:
السلام علينا وعلى عباد الله الصالحين
Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya jika kamu membacanya, maka kamu telah
mengucapkan salam kepada semua hamba Allah yang shalih dari penduduk langit dan
bumi.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)[1]
Di dalam Al-Qur’an banyak sekali terdapat contoh-contoh
seperti ini.
Kaedah ke-4:
Apabila ada nakirah yang jatuh setelah an-nafi (penafian), an-nahi
(pelarangan), asy-syarth dan al-istifham (pertanyaan), maka ia
menunjukkan umum. Sebagaimana firman Allah:
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu
mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun.” (QS. An-Nisa’:36)
Ayat ini menunjukkan larangan berbuat syirik pada niat,
perkataan dan perbuatan. Larangan juga dari syirik besar, kecil, tersembunyi
dan yang jelas. Tidak sepatutnya membuat sekutu bagi Allah pada semua yang
telah disebutkan.
Contohnya lagi adalah firman Allah:
“Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah,
padahal kamu mengetahui.” (QS.
Al-Baqarah:22)
Firman Allah dalam menceritakan hari Kiamat:
“(Yaitu) hari (ketika) seseorang tidak berdaya sedikitpun untuk
menolong orang lain dan segala urusan pada hari itu dalam kekuasaan Allah.” (QS. Al-Infithar:19)
Ia mencakup semua orang dan pada hari itu dia tidak
memiliki sesuatu apapun untuk siapapun, walaupun bagaimanapun erat hubungannya.
Dia tidak dapat memberikan sesuatu yang bermanfaat atau mencegah sesuatu yang
memudaratkannya.
Firman Allah yang lain:
“Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan
kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika
Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak
karunia-Nya.”(QS.Yunus:107)
Segala kemudharatan yang telah ditakdirkan oleh Allah
pada hamba, tidak akan ada seorangpun yang mampu menghilangkannya walau
sedikitpun. Paling tinggi apa yang bisa diperbuat oleh makhluk berupa usaha dan
pengobatan adalah salah satu dari bagian yang juga termasuk takdir Allah.
Firman Allah juga:
“Apa saja yang Allah anugerahkan kepada
manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorangpun yang dapat menahannya. Dan apa
saja yang ditahan oleh Allah, maka tidak seorangpun yang sanggup melepaskannya
sesudah itu. Dan Dia-lah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Faathir: 2)
Dan firman Allah:
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka
dari Allah-lah (datangnya).” (QS.
An-Nahl: 53)
Ia mencakup semua kebaikan kepada hamba dan apa yang
menimpanya. Segala nikmat untuk mendapatkan apa yang dicintai dan menolak apa
yang dibenci, sesungguhnya Allah sendiri yang dapat melakukan semua itu.
Allah juga berfirman;
“Adakah Pencipta selain Allah yang dapat
memberikan rezki kepada kamu dari langit dan bumi ? tidak ada Tuhan selain
Dia.” (QS. Faathir:3)
Apabila masuk huruf min maka menjadi nas yang
umum, sebagaimana ayat berikut ini:
“Maka sekali-kali tidak ada seorangpun dari
kamu yang dapat menghalangi (Kami) dari pemotongan urat nadi itu.” (QS. Al-Haaqqah: 47)
Firman Allah juga:
“Sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain-Nya.”
(QS. Al-A’raf: 59)
Kaedah memiliki banyak contoh yang lainnya.
Kaedah ke-5:
Telah disepakati bahwasanya al-mudhaf dan isim
jamak menunjukkan umum
Contohnya firman Allah:
“Diharamkan atas kamu
(mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang
perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang
perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu;
saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu
yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang Telah kamu campuri, tetapi jika kamu
belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa
kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu
(menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara,
kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.” (QS.
An-Nisa’: 23)
Ayat ini mencakup semua ibu yang anda dinasabkan
kepadanya dan seterusnya ke atas (nenek, ibunya nenek dst), juga setiap anak
perempuan yang ia dinasabkan kepadamu dan seterusnya ke bawah (cucu, anaknya
cucu dst).
Demikian juga dengan firman Allah:
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka
dari Allah-lah (datangnya).” (QS.
An-Nahl: 53)
Ia mencakup nikmat agama dan dunia.
Firman Allah yang lainnya:
“Katakanlah: Sesungguhnya
sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta
alam.” (QS. Al-An’am: 162)
Ia mencakup semua shalat, ibadah dan segala yang terjadi
pada hamba ketika hidup dan setelah matinya. Semuanya dari Allah sebagai bentuk
karunia dan kebaikan-Nya. Anda telah melakukan salah satu darinya dan
mengikhlaskannya hanya untuk Allah semata dan tidak ada sekutu bagi-Nya.
Firman Allah juga:
“Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim
sebagai tempat shalat.” (QS.
Al-Baqarah: 125)
Menurut salah satu pendapat bahwasanya ia mencakup semua
maqam Ibrahim di tempat-tempat haji, disuruh untuk menjadikannya sebagai tempat
shalat.
Ada yang lebih jelas dari ayat ini, yaitu firman Allah:
“Kemudian kami wahyukan kepadamu (Muhammad):
"Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif,” (QS. An-Nahl: 123)
Ini mencakup semua yang dimiliki oleh Nabi Ibrahim berupa
tauhid, keikhlasan beribadah kepada Allah dan memenuhi hak ubudiyah. Ada yang
lebih umum dan lebih mencakupi lagi, yaitu firman Allah:
“Mereka itulah orang-orang yang telah diberi
petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka.” (QS. Al-An’am: 90)
Allah memerintahkan untuk untuk mengikuti apa yang
dimiliki oleh para rasul terdahulu, berupa hidayah yaitu ilmu yang bermanfaat,
akhlak yang mulia, amal shalih dan petunjuk yang lurus.
Ayat ini merupakan salah satu dalil atas salah satu
kaedah yang sangat terkenal, yaitu “syariat sebelum kita menjadi syariat kita
apabila tidak ada syariat kita yang menolaknya”. Syariat para nabi terdahulu
adalah petunjuk bagi mereka dalam prinsip-prinsip agama dan cabangnya.
Demikian juga dengan firman Allah:
“Dan bahwa (yang kami perintahkan) ini adalah
jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah ia.” (QS. Al-An’am: 153)
Ayat ini mencakup semua yang disyariatkan Allah kepada
hamba-Nya; perbuatan atau larangan, akidah atau amalan. Dia menyandarkannya
kepaa diri-Nya (shirathi) dalam ayat ini, karena Dia yang menetapkannya
untuk hamba-Nya. Sebagaimana Dia menyandarkannya (jalan) kepada orang-orang
yang telah diberikan nikmat kepada mereka, sebagaimana firman-Nya:
“(Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau
beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula
jalan) mereka yang sesat.”
(QS. Al-Fatihah: 7)
Oleh karena mereka (Yahudi dan Nashrani) yang
menempuhnya. Jalan orang-orang yang telah diberi nikmat kepada mereka, adalah
jalannya para Nabi, orang-orang yang jujur, para syuhada dan orang-orang yang
shalih. Mereka senantiasa berada di atasnya dan memiliki ilmu, akhlak, sifat
dan amal.
Firman Allah juga:
“Dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun
dalam beribadat kepada Tuhannya.” (QS. Al-Kahfi: 110)
Termasuk ke dalamnya adalah semua ibadah yang zahir dan
yang bathin, ibadah hati dan perbuatan. Sebagaimana Allah memberikan sifat ubudiyah
kepada Rasulullah dengan menyandarkannya kepada diri-Nya, Allah berfirman:
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu
malam.” (QS. Al-Isra’: 1)
Juga firman Allah:
“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Quran yang Kami
wahyukan kepada hamba Kami.” (Al-Baqarah:
23)
Firman Allah juga:
“Maha Suci Allah yang telah menurunkan
Al-Furqaan (Al-Qur’an) kepada hamba-Nya,.” (QS. Al-Furqan: 1)
Kesemua ayat ini menunjukkan bahwa Rasulullah telah
memenuhi semua maqam ubudiyah, sehingga mendapatkan kedudukan yang paling
mulia, karena sebelumnya telah memenuhi semua maqam ibadah.
Firman Allah yang lain:
“Bukankah Allah
cukup untuk melindungi hamba-hamba-Nya.” (QS. Az-Zumar: 36)
Setiap kali hamba lebih
memenuhi hak-hak ubudiyah, setiap itu juga penjagaan Allah lebih banyak dan
lebih sempurna untuknya. Sebaliknya setiap dia menguranginya, maka penjagaan
Allah juga akan berkurang seukurannya.
Allah juga berfirman:
“Dan perintah Kami
hanyalah satu perkataan seperti kejapan mata.” (QS. Al-Qamar: 50)
Firman Allah juga:
“Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu
apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: "kun
(jadilah)", maka jadilah ia.” (QS. An-Nahl: 40)
Ia mencakup semua
perintah Allah yang qadariyyah dan yang kauniyyah. Ayat-ayat
seperti ini dalam Al-Qur’an banyak sekali.
Kaedah ke-6:
Metode Al-Qur’an dalam
menetapkan tauhid dan menafikan lawannya
Al-Qur’an seluruhnya
adalah untuk menetapkan tauhid dan menafikan lawannya (syirik). Kebanyakan dalam ayat Al-Qur’an Allah
menetapkan tauhid uluhiyah dan mengikhlaskan ibadah kepada-Nya semata dan tidak
ada sekutu bagi-Nya. Allah juga memberitahukan bahwasanya semua Rasul diutus
untuk menyeru kaumnya agar beribadah kepada Allah dan tidak mensekutukan-Nya
dengan sesuatu apapun. Allah tidak menciptakan jin dan manusia, kecuali untuk
beribadah kepada-Nya. Semua kitab dan para Rasul, bahkan fitrah dan akal yang
sehat, bersepakat mengenai prinsip ini, yang merupakan asas segala asas.
Barangsiapa yang tidak beragama dengan mengikhlaskan hati dan perbuatan dalam
beribadah kepada Allah, maka amalnya batal, sebagaimana firman Allah:
“Dan sesungguhnya telah
diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. "Jika kamu
mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu
termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Az-Zumar: 65)
Allah juga berfirman:
“Seandainya mereka
mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka
kerjakan.” (Al-An’am: 88)
Al-Qur’an menyeru
manusia kepada apa yang telah terpatri dalam fitrah dan akal mereka, yaitu
bahwasanya Allah sendiri yang mencipta dan mengatur serta memberi nikmat yang
zahir dan yang bathin. Oleh karena itu Allah sendiri yang berhak untuk
diibadahi dan tidak layak diberikan sedikitpun kepada selain-Nya. Semua makhluk
tidak memiliki kemampuan sedikitpun untuk mencipta, tidak bisa memberikan manfaat
dan menolak mudarat dari dirinya apalagi menjadikan orang lain tidak butuh
kepada Allah.
Allah mengajak manusia
kepada prinsip yang dipuji-Nya dan disanjungnya atas diri-Nya, yaitu sendiri
dalam memiliki sifat yang agung dan terpuji, ketinggian dan kesempurnaan.
Sesungguhnya yang memiliki kesempurnaan mutlak seperti ini dan tidak ada yang
sekutu dengan-Nya, adalah paling berhak untuk mendapatkan keikhlasan ibadah
hati dan perbuatan yang zahir dan yang bathin.
Dia menetapkan tauhid
ini, bahwasanya Allah yang sendiri yang menetapkan hukum. Tidak ada selain
Allah yang boleh menetapkan hukum baik secara syarak maupun sebagiannya,
sebagaimana firman-Nya:
“Keputusan itu hanyalah
kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia.”
(QS. Yusuf: 40)
Terkadang Al-Qur’an
menetapkan hal ini dengan menyebutkan keindahan tauhid. Sesungguhnya Islam
adalah satu-satunya agama yang wajib diterima secara syarak, akal dan fithrah
oleh semua manusia. Ia juga menyebutkan keburukan-keburukan syirik dan
kerancuan akal pemiliknya setelah kerancuan agama mereka. Hati mereka terbalik
dan mereka lebih sesat jalan daripada binatang.
Kadang-kadang ia juga
menyeru kepada tauhid dengan menyebutkan balasan yang baik di dunia dan di
Akhirat serta kehidupan yang baik di tiga tempat (dunia, barzakh dan Akhirat).
Demikian juga menyebutkan balasan syirik berupa hukuman di dunia, sebagaimana
jeleknya hukuman yang diterima oleh orang-orang musyrik.
Kesimpulannya, semua
kebaikan yang cepat atau lambat adalah buah daripada tauhid. Sebaliknya segala
keburukan yang cepat atau yang lambat adalah akibat dari kesyirikan, wallahu
a’lam.
[1] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya
dengan nomor 831, 1202, 6265, 6328, 7381) dan Muslim dalam Shahih-nya
nomor 403, dari hadits Ibnu Mas’ud, beliau berkata, “Kami di belakang
Rasulullah membaca, “Assalamu ‘Alallah, assalaamu ala fulan.” Suatu hari
Rasulullah bersabda kepada kami, “Sesungguhnya Allah adalah As-Salam , apabila
seorang duduk (tahiyyat) dalam shalatnya, maka hendaklah membaca:
Apabila membacanya, maka akan didapati oleh semua
hamba Allah yang shalih di langit dan di bumi.”
(Kemudian membaca) tasyahhud:
Setelah itu dia bisa memilih doa yang
dikehendakinya.”
-----------------------------------
Di terjemahkan oleh Dr. Nurul Mukhlisin Asyrafuddin, Lc., M.Ag Dari Kitab
Qala’idul Jiman fi Qawa’id wa Ushul Tafsir
al-Qur’an lil A’immati Ibnu Taimiyyah wal Qasimi Was Sa’di Penyusun Abu Abdullah Muhammad Riyadh Al-Ahmad
Al-Maktabah al-Ashriyyah- Beyrut
Tidak ada komentar:
Posting Komentar