Kurang lebih 14 abad yang silam, dunia
seluruhnya menanti sebuah pristiwa besar yang sudah hampir terjadi. Mereka
menunggu kelahiran seorang anak yang mulia, yang sebentar lagi akan lahir dunia
dan diutus ke dunia.
Semua orang memastikan bahwa bayi tersebut akan
terlahir tinggal beberapa hari lagi. Setelah itu, suaranya akan memecahkan
keheningan yang ada. Wajahnya akan menyinari kegelapan yang sedang menyelimuti
alam. Tanda-tanda kelahirannya telah nyata. Kegembiraan telah menyelimuti semua
yang ada.
Para pendeta setiap malam menunggu tibanya kelahiran
tersebut. Mereka setiap malam melihat ke bintang-bintang di langit. Mereka juga
bertanya kepada para kafilah Arab yang datang ke Syam mengenai bayi-bayi yang
baru lahir di daerahnya. Penantian tidak berlangsung lama. Detik-detik pemisah
dalam sejarah manusia telah tiba. Bayi yang dinanti telah lahir. Namun siapakah
dia? Dimana ia dilahirkan?
*****
Di Jazirah Arab, Mekkah merupakan Ummul Qura (ibu
kota). Ia menjadi tempat yang dituju oleh orang-orang Arab untuk mengunjungi
Baitullah, yaitu Ka’bah yang dibangun oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Isma’il alaihimassalam.
Disamping itu orang-orang Qurays juga mendiami tempat itu.
Ia merupakan salah satu kabilah yang paling besar di
Arab. Kabilah inilah yang bertugas memelihara Ka’bah, memberikan minum dan
pertolongan kepada orang-orang yang berhaji. Dengan demikian, mereka berhak
mendapatkan penghargaan dari semua orang Arab. Di seputar Ka’bah terdapat
sejumlah patung dan berhala orang-orang Arab. Patung dan berhala yang dipahat
dari batu dan kayu, kemudian mereka menyembahnya selain Allah. Al-Laata,
Al-Uzza, Manat, Hubal, Isaaf, Na’ilah dan sejumlah patung lainnya mereka
tempatkan di sekitar Mekkah. Mereka sujud kepadanya dan berkeliling di
seputarnya. Mereka kafir kepada Allah dan berbuat syirik kepada-Nya.
Di semenanjung Arab terjadi peperangan antar kabilah
yang bisa disebabkan karena permasalahan sepele. Perang besar bisa terjadi
sekedar karena ada kuda yang kalah dalam pacuan, atau karena seorang
mengingikan tanah atau air orang lain. Tidak ada peperangan yang cepat selesai.
Bahkan ada yang berlangsung bertahun-tahun, seperti perang Basus, Dahis dan
Ghabra’.
Orang-orang yang datang ke Makkah sering mendengar
suara bayi-bayi perempuan yang dikuburkan hidup-hidup oleh ayahnya, karena
khawatir akan mendapatkan celaan. Di keheningan malam, orang-orang Arab
mengambil khamar dan meminumnya. Ini di antara sekian kebiasaan buruk mereka.
Walaupun memiliki berbagai perangai tercela seperti
ini, namun orang-orang Arab juga mempunyai sifat-sifat yang mulia, seperti
dermawan dan pemurah. Mereka mengetahui bagaimana cara menunaikan hak dan
kewajiban terhadap para tamu. Apabila berjanji, mereka selalu menepatinya,
walaupun itu harus mengorbankan harta dan nyawanya.
Mata pencaharian mereka didapati lewat berdagang dan
mengembala. Sebagian mereka mengembalakan kambingnya di bukit-bukit yang ada di
sekitar Mekkah. Mereka minum dari susu kambingnya dan membuat selimut dan
pakaian dari bulunya. Orang-orang kaya di antara mereka keluar berdagang ke
negeri Syam pada musim panas dan ke negeri Yaman pada musim dingin. Inilah yang
diceritakan oleh Allah dalam Al-Qur’an, sebagaimana firman-Nya:
“Karena kebiasaan
orang-orang Quraisy. (Yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan
musim panas. Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka'bah).
Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan
mengamankan mereka dari ketakutan.” (Quraisy: 1-4)
*****
Di kalangan Bani Hasyim
yang merupakan salah satu Kabilah paling besar di suku Quraisy, terdapat Abdul
Muththalib yang menjadi pemimpin suku dan hidup bersama sepuluh anaknya. Abdul
Muththalib terkenang kembali kepada mimpinya, dimana ada seorang yang
menyuruhnya menggali kembali sumur Zam-Zam setelah lama tertimbun tanah.
Setelah selesai
menggalinya, orang-orang Quraisy ingin merebut sumur tersebut darinya karena
mereka merasa sama-sama memiliki. Beliau bernazar seandainya Allah
mengkaruniakan sepuluh anak, niscaya ia akan menyembelih di pintu Ka’bah salah
satu darinya.
Berikut ini kesepuluh
putra beliau, yaitu Al-Harits, Az-Zubair, Hajal, Dhirar, Al-Muqawwim, Abu
Lahab, Al-Abbas, Hamzah, Abu Thalib dan Abdullah. Sekarang beliau harus
menunaikan nazarnya dengan menyembelih salah satu dari mereka. Beliau merasa
berat karena akan berpisah dengan salah satu putranya. Namun sebuah janji harus
ditepati dan direalisasikan. Abdul Muththalib tidak berpikir panjang, ia
menulis nama semua anaknya di setiap busur panah untuk mengundi salah seorang
di antara mereka. Setelah itu beliau pergi membawanya ke Hubail.
Hubail adalah salah satu patung
yang dijadikan hakim untuk memutuskan perkara. Undian jatuh kepada putra bungsu
beliau Abdullah, padahal ia adalah putranya yang paling dicintainya. Apa yang
harus beliau lakukan? Apakah akan mentaati perintah Tuhannya atau menyelisihi
janjinya?
Abdul Muththalib sempat
bingung, namun segera memutuskan untuk menyembelih anaknya, sang penyejuk mata dan
kekasih hatinya. Beliau mulai mengasah pisaunya dan hampir menyembelih
putranya, namun orang-orang Quraisy mendatanginya dan melarangnya untuk
menyembelih putra bungsunya Abdullah. Mereka khawatir hal ini akan dijadikan
tradisi oleh orang Arab setelahnya, dengan menyembelih putra-putranya. Mereka
menganjurkan kepada Abdul Muththalib untuk pergi ke salah seorang dukun di
daerah Hijaz, untuk membicarakan masalah ini. Setelah sampai di sana, beliau
disuruh untuk mengulangi undian sekali lagi.
Namun kali ini, yang
ditulis di busur panah adalah sepuluh ekor onta dan di busur yang lain nama
putranya Abdullah. Hal ini diulang-ulangi sampai yang keluar dalam undian nantinya
adalah onta. Dengan demikian Abdul Muthalib dapat menyelamatkan putranya
melalui taktik yang cerdas ini. Beliau terus melakukan undian antara putranya
Abdullah dengan onta, sehingga berakhir dengan pilihan menyembelih seratus ekor
onta dan Abdullah bisa selamat dari penyembelihan. Pertolongan Allah telah menyelamatkan
Abdullah dari penyembelihan dan dipersiapkan untuk mengemban misi yang lebih
sulit dan lebih berat.
*****
Takdir yang menggembirakan
telah mempersiapkan tugas penting bagi Abdullah bin Abdul Muththalib.
Seandainya beliau mengetahuinya, niscaya akan mati kegirangan. Berita mengenai
keselamatan Abdullah dari penyembelihan telah tersiar di Mekkah dan seluruh
kampung yang berada di sekitarnya.
Kisah ini mengembalikan
kenangan dalam ingatan mengenai penyembelihan buyut bangsa Arab yaitu Ismail,
yang telah diganti oleh Allah dengan sembelihan yang besar, sehingga beliau
selamat dari penyembelihan. Cerita Abdullah menjadi buah bibir semua orang di
setiap rumah. Dalam suasana gembira ini, Abdullah dipanggil oleh seorang wanita
dan diajak untuk menikah, dengan syarat dia memberinya seratus onta yang
menjadi tebusan orang tuanya dari penyembelihannya. Namun Abdullah tidak
memperdulikannya.
Abdul Muththalib mengajak
putranya Abdullah menemui kerabatnya di Yatsrib untuk menikahkannya dengan
seorang wanita dari Bani Zuhrah. Mereka adalah orang-orang yang dikenal dengan
kemuliaan dan kewibawaan. Abdul Muththalib belum pernah menemui wanita Quraisy
yang lebih baik dari Aminah binti Wahb bin Abdul Manaf.
Resmilah Aminah menjadi
istri Abdullah dan orang-orang Quraisy dapat menyaksikan pasangan pengantin
yang telah lama mereka nantikan. Kegembiraan atas selamatnya Abdullah dari
penyembelihan bercampur dengan kebahagiaan pernikahannya dengan Aminah. Oh!
Alangkah bahagianya yang tiada terkira.
Ketika kedua mempelai
telah kembali ke Mekkah, Abdullah pergi menjumpai wanita yang pernah
mengajaknya untuk menikah. Wanita itu berkata kepadanya, “Anda pasti telah
menikah? Abdullah menjawab, “Ya, bagaimana anda mengetahuinya? Ia berkata,
“Sebelumnya di wajahmu ada cahaya namun sekarang ia telah hilang darimu. Aku
mengetahui pasti anda telah menikah.” Abdullah tidak memahami ucapannya. Beliau
kembali ke Aminah untuk mendapatkan berita gembira bahwa ia telah memasuki
bulan awal dari kehamilannya. Ia telah merasakan apa yang dirasakan oleh para wanita
hamil lainnya.
Abdullah merasakan
kebahagiaan yang luar biasa. Dia telah selamat dari penyembelihan kemudian dia
menikah. Berikutnya sekarang dia mendapatkan kabar gembira mengenai kelahiran
putranya yang akan segera tiba. Dia yakin bahwa ia telah dapat merealisasikan segala
yang diinginkan. Takdir tidak menyia-nyiakannya. Dia telah membayar harga semua
pristiwa yang membahagiakan ini.
Di saat kembali dari
perdagangannya, beliau terjatuh dan meninggal dalam usia yang masih muda.
Pandangan kegembiraannya belum sempat melihat putra pertamanya. Semua penduduk
Mekkah berduka dengan kematian Abdullah. Beliau bisa selamat dari pisau
penyembelihan, namun pisau kematian tidak bisa menyelamatkan dirinya. Ini semua
adalah kehendak Allah.
Air mata Aminah jatuh
bercucuran. Dia belum begitu lama merasakan hidup bahagia bersama suaminya.
Keringat yang menempel di gaun pengantin belum kering. Namun kematian Abdullah
benar-benar merubah kebahagiaan menjadi kesedihan. Mempelai wanita begitu cepat
menjadi seorang janda. Ia telah ditinggalkan oleh suami tercinta. Namun beliau
meninggalkan kenangan indah yang tidak akan pernah dilupakannya. Kenangan itu
adalah berupa janin yang terus bergerak di dalam kandungannya. Sedikit tidak
ini mengurangi perihnya perpisahan dan menjadikan beliau segera meninggalkan
kesedihan.
*****
Suatu hari, kota Mekkah
menjadi gempar. Orang-orang keluar untuk melihat pristiwa apa yang terjadi.
Ternyata Abrahah Al-Habasyi seorang panglima Habsyah ingin menghancurkan
Ka’bah. Dia telah membangun sebuah rumah untuk menarik orang-orang berhaji
kepadanya sebagai pengganti Ka’bah. Ia memberinya nama Al-Qulays. Namun
orang-orang Arab mengencinginya sebagai pengganti dari tawaf di sekelilingnya.
Abrahah bersumpah akan menghancurkan Baitullah Ka’bah tempat berhajinya semua
orang Arab.
Abrahah datang dengan
membawa pasukan yang tangguh. Mereka membawa seekor gajah yang sangat besar
untuk menghancurkan Ka’bah. Di tengah perjalanan ada kambing Abdul Muththalib
yang sedang digembalakan. Tentara Abrahah mengambilnya dan Abdul Muththalib
keluar menemui Abrahah untuk meminta kembali kambingnya.
Abrahah berkata, “Aku
menyangka kamu datang kepadaku untuk meminta agar tidak menghancurkan Ka’bah.
Namun ternyata kamu datang sekedar meminta kambingmu.” Abdul Muththalib
menjawab, “Aku adalah pemilik onta, itulah sebabnya saya datang untuk
menjaganya. Sementara rumah itu (Ka’bah) ada Pemiliknya yang akan menjaganya.”
Orang-orang Quraisy keluar
untuk melihat apa yang akan diperbuat oleh Abrahah. Mereka tidak mampu untuk
melawannya. Gajah besar itu berhenti dan tidak mau bergerak. Abrahah menyuruh
pasukannya untuk memukulnya, namun ia tetap tidak mau bergerak. Semakin kuat
mereka memukulnya, maka semakin kuat ia diam dan berdiri.
Tiba-tiba, tanpa
dikomandoi burung-burung kecil memenuhi langit. Di mulutnya membawa batu-batu
kecil. Setiap kali dilemparkan ke tentara Abrahah, maka langsung mereka
terbunuh. Dalam beberapa detik, para tentara tersebut menjadi bangkai-bangkai
yang dimakan burung, Allah berfirman:
“Apakah kamu tidak
memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara bergajah?
Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka'bah) itu
sia-sia? Dan Dia mengirimkan kapada mereka burung yang berbondong-bondong. Yang
melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar. Lalu Dia
menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat).” (Al-Fiil:
1-5)
Abdul Muththalib sangat
gembira, demikian juga orang-orang Quraisy. Pemilik Ka’bah telah memelihara
Ka’bah-Nya. Dia telah menyelamatkannya dari kejahatan Abrahah dan bala
tentaranya. Tahun ini kemudian dinamakan ‘Ámul Fiil (Tahun Gajah). Abdul
Muththalib segera kembali ke rumahnya, untuk mengetahui keadaan Aminah yang
semakin dekat waktu persalinannya.
Bintang-bintang memenuhi
langit yang cerah. Pada malam ini semua penduduk bumi memandang ke langit dan
mendapatkannya ia telah berhias. Ia seakan-akan seorang mempelai perempuan yang
sedang menunggu pasangannya. Sang bulan telah mengenaikan gaunnya yang paling
indah. Dengan cahayanya yang terang ia menyinari langit.
Angin sepoi-poi basah
bertiup ke segala penjuru menyebarkan aromanya yang harum, seakan-akan berasal
dari Surga. Setiap orang mendapatkan dirinya sangat bahagia di malam tersebut.
Tidak tau, entah mengapa?
Di negeri Persia terdapat
orang-orang yang menyembah api, mendapatkan apinya tiba-tiba padam.
Jendela-jendela istana raja Kaisar Anusyirwan tiba-tiba terjatuh. Orang-orang
yang ada di dalamnya semua berhamburan keluar istana. Patung Saawah yang sangat
mereka agungkan menjadi hancur. Kaisar melihat istana di depannya bergoncang
dan akhirnya terbelah. Dia dan orang-orang yang bersamanya merasa ketakutan dan
berlari menjauh.
Para pendeta keluar dan
mereka memastikan tibanya kelahiran seorang utusan yang baru. Dia adalah
Muhammad atau Ahmad, nabi akhir zaman yang diberitakan oleh Nabi Allah Musa
dalam Taurat. Demikian juga yang diceritakan kepada mereka oleh Al-Masih Isa Alaihissalam.
Mereka benar-benar telah mendapatkan sifat-sifat beliau dalam kitab Taurat
dan Injil. Mereka juga mengetahui tanda-tanda kelahirannya, sehingga semuanya
berteriak, “Hari ini dilahirkannya Ahmad, hari ini dilahirkannya Muhammad.”
Di Ummul Qura (Mekkah),
Abdul Muththalib menceritakan kepada orang-orang bahwa dia bermimpi melihat
cahaya yang keluar dari pundaknya dan menyinari dunia. Dia juga pernah
diceritakan oleh Aminah bahwa beliau juga bermimpi melihat cahaya yang keluar
darinya dan bisa menyinari istana Syam. Aminah tiba-tiba berteriak, karena
detik-detik persalinan telah tiba. Namun anehnya beliau tidak merasakan
sakitnya melahirkan. Bayi yang lahir keluar dari rahimnya dalam keadaan
tersenyum bukan menangis. Telunjuknya ia angkat dan berisyarat ke langit
kemudian tersungkur di atas tempat tidurnya bersujud kepada Tuhannya. [1]
Aminah memandang ke
sekelilingnya dan melihat seakan-akan di sampingnya ada bintang yang jatuh dari
langit. Saat itu semuanya diliputi cahaya namun tidak sembarang cahaya. Ia
adalah cahaya yang tidak mengganggu mata, bahkan menyenangkan dan
membahagiakan. Semua mata berharap cahaya tersebut tetap ada.
Abdul Muththalib sedang
duduk di sisi Ka’bah. Ketika diberitahu kelahiran cucunya yang menjadi
pengganti anaknya, beliau segera berdiri dan berkata, “Muhammad, aku akan
memberinya nama Muhammad, agar penduduk langit dan dunia memujinya.”
Kebahagiaan telah
menyelimuti rumah Abdul Muththalib setelah sebelumnya dipenuhi kesedihan dengan
perginya putra tercintanya Abdullah. Kesedihan telah berlalu dan berganti
dengan kebahagiaan. Berbagai makanan dihidangkan karena kebahagiaan yang sangat
besar. Muhammad bin Abdullah adalah Ibnu Adz-dzabihain (putra dua orang
yang disembelih), yaitu Isma’il yang menjadi buyutnya dan Abdullah yang menjadi
ayahnya. Dunia semuanya bersiap-siap untuk menerima kedatangan cahaya sang
putra dua orang yang disembelih.
*******************
Pelajaran Yang Diambil:
-
1. Menepati janji adalah salah satu sifat yang terpuji.2. Ka’bah adalah Baitullah yang diharamkan.3. Allah menjaga rumah-Nya dari segala keburukan.4. Nasab Rasulullah adalah nasab yang sangat mulia.5. Muhammad adalah Ibnu Adz-dzabihain (putra dua orang yang disembelih), yaitu Isma’il yang menjadi buyutnya dan Abdullah yang menjadi ayahnya.__________________________Diterjemahkan oleh Abu Athiyyah dari kitabحياة محمد للأطفال, Hamid Ahmad Ath-Thahir
[1] Pent: Mohon dipertimbangkan kalimat ini, apakah tidak
ada unsur ghuluw? Apakah ini tidak bertentangan dengan hadits shahih berikut
ini:
مسند أحمد - (ج 19 / ص 81)
9050- حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا هَيْثَمٌ قَالَ
حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ مَيْسَرَةَ عَنِ الْعَلاَءِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِيهِ
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « كُلُّ إِنْسَانٍ
تَلِدُهُ أُمُّهُ يَلْكُزُهُ الشَّيْطَانُ فِى حِضْنَيْهِ إِلاَّ مَا كَانَ مِنْ مَرْيَمَ
وَابْنِهَا أَلَمْ تَرَوْا إِلَى الصَّبِىِّ حِينَ يَسْقُطُ كَيْفَ يَصْرُخُ ». قَالُوا
بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ « فَذَاكَ حِينَ يَلْكُزُهُ الشَّيْطَانُ بِحِضْنَيْهِ
». معتلى 9954
تعليق شعيب الأرنؤوط : إسناده صحيح رجاله
ثقات رجال الصحيح
Tidak ada komentar:
Posting Komentar