Kamis, 09 Januari 2014

Menjadi Muslimah Ideal




Sebab itu maka Wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka) .(QS. An-Nisa’(4):34).
Dalam ayat ini setidaknya ada tiga karakteristik utama wanita muslimah yang ditampilkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala, di antaranya sebagai berikut; 
 
Pertama, shalihat yaitu beribadah kepada Allah Ta’ala dengan penuh keikhlasan hanya mengharap ridha-Nya semata, bukan sanjungan dan pujian manusia. Dan dalam beribadah kepada-Nya, ia selalu mencontohi Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam. Ibadah secara etimologi berarti merendahkan diri serta tunduk dan patuh. Sedangkan menurut Istilah seperti yang dikatakan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah,” ibadah adalah sebuatan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai oleh Allah , baik berupa ucapan atau perbuatan, yang dzahir maupun yang batin.
Ibadah bisa dibagi menjadi tiga macam yaitu; A)- Ibadah Qalbiyah (hati) seperti khauf (takut), Raja’ (mengharap), mahabbah (cinta), Tawakkal, Ragbah (senang). B)- Ibadah badaniyah (badan) seperti shalat, puasa, zakat, haji. C)- Ibadah lisaniyah (lisan), seperti zikir, membaca al-Qur’an dan lainnya. Dengan demikian ibadah mencakup seluruh tingkah laku dan ucapan seorang mukmin jika itu diniatkan mendekatkan diri kepada Allah. Bahkan adat dan kebiasaan yang mubah bisa menjadi Ibadah apabila diniatkan sebagai bekal untuk taat kepada Allah. Seperti tidur, makan, mencari nafkah dan lainnya.
Kesalahan persepsi tentang ibadah bisa terjadi dengan cara mengurangi makna ibadah serta membatasi pelaksanaannya pada ibadah ritual dan syiar-syiar tertentu saja. Tidak ada ibadah yang berkaitan dengan masalah sosial, akhlak dan muamalah. Begitu juga mereka yang berlebih-lebihan dalam masalah ibadah, sehingga yang sunah kadang dianggap wajib, atau yang mubah (boleh) dianggap haram. Ibadah yang benar harus berlandaskan pada tiga filar yang utama yaitu; A)- Al-Hubb (cinta), yang harus dibarengi dengan sikap rendah diri. B)- Al-Khauf (takut), yang harus dibarengi dengan rasa raja (harap). C)- Ar’raja’ (mengharap).
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Dienullah adalah menyembahnya dengan taat dan tunduk kepadaNya. Akan tetapi ibadah yang diperintahkan mengandung makna tunduk dan cinta. Siapa yang tunduk kepada seseorang dengan perasaan benci kepadanya maka ia bukanlah menghamba (menyembah) kepadanya. Dan jika ia menyukai sesuatu tetapi tidak tunduk kepadanya maka diapun tidak menghamba padanya. Karena itu tidak cukup salah satu dari keduanya dalam beribadah kepada Allah, tetapi hendaknya Allah lebih dicintainya dari segala sesuatu dan Allah lebih diagungkan dari segalanya. Tidak ada yang berhak mendapatkan kecintaan dan ketundukan yang sempurna selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala”. (Majmu’ Tauhid Najdiyah, hal.542)
Syekhul Islam berkata, “ Inti agama adalah dua yaitu kita tidak menyembah kecuali kepada Allah, dan tidak menyembah Allah kecuali dengan apa yang disyariatkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Muslimah juga tidak menyekutukan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam ibadahnya baik Syirik Akbar (besar), yaitu menyekutukan-Nya dalam do’a, sebagaimana firman-Nya,”Maka apabila mereka naik kapal, mereka berdo’a kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya, tetapi tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat tiba-tiba mereka kembali mempersekutukan Allah”, (QS. al-Ankabut;65)
Atau syirik dalam niat dengan menjadikan tujuan amalnya hanya semata untuk dunia, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, “Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia tidak akan dirugikan”, (QS.Hud;15)
Syirik dalam ketaatan dengan memberi ketaatan yang sama antara Allah dengan makhluk-Nya, Sebagaimana firman-Nya, ”Mereka menjadikan orang-orang alim dan pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah”, (QS.at-Taubah;31)
Syirik dalam cinta dengan mencintai selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyamai cintanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sebagaimana firman-Nya,” Dan di antara manusia ada yang menjadikan sekutu-sekutu selain Allah, mereka mencintainya seperti mencintai Allah”, (QS. al- Baqarah;165).
Kedua; syirik Ashghar (kecil), yaitu beberapa perbuatan yang yang disebutkan oleh Al-Qur’an dan hadits sebagai syirik tetapi tidak termasuk syirik besar seperti bersumpah dengan selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan riya’ sebagaimana hadits Nabi yang artinya, “Sesungguhnya perkara yang paling aku khawatir kepada kalian adalah syirik kecil yaitu riya’, (HR.Ahmad)
Ketiga; Syirik khofi (samar) , yaitu syirik yang terselubung seperti yang digambarkan oleh Rasulullah dalam sabdanya, “Bagaimana sekiranya aku beritau kalian tentang sesuatu yang lebih aku takuti (terjadi) pada kalian daripada AL-Masih Ad-Dajjal?, mereka menjawab, Ya, wahai Rasulullah!. Beliau bersabda, “Syirik yang samar, seperti seorang yang berdiri lalu dia melakukan shalat maka dia perbagus shalatnya karena dia melihat ada orang lain yang melihatnya”, ( HR.Ahmad , dari Abi Sa’id Al-Khudri). Dalam riwayat al-Hakim Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam pernah mengilustrasikan syirik itu lebih samar dari semut yang merayap di atas batu hitam di tengah malam yang gelap- gulita. Oleh sebab itu beliau mengajarkan do’a sebagai berikut;
اَلَّلهُمَّ ِإنيِّ أَعُوْذُ بِكَ أَنْ نُشْرِكَ شَيْئًا وَأنَا اَعْلَمْ وَاَسْتَغْفِرُكَ مِنَ الذَّنْبِ اّلَذِي لاَ أَعْلَمُ
Artinya, “Ya Allah! Aku berlindung kepada-Mu dari segala perbuatan syirik yang kuketahui, dan aku memohon ampunan-Mu dari dosa yang tidak kuketahui”.
Kedua, Qhanithat (taat). Al-Hafidz Imaduddin Abil Fida’ Ismail Ibnu Katsir menulis perkataan Ibnu Abbas, bahwa yang dimaksud dengan Qhanithat dalam ayat ini adalah taat kepada suaminya. karena lafadz ayat ini umum, maka taat yang dimaksud juga meliputi taat kepada kedua orang tua, sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala, “ Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah mengatakan kepada keduanya perkataan ”ah”, dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkan kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah; “Wahai Tuhanku kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”. (QS.Al -Isra’; 23-24)
Ibu dan bapak adalah orang yang pertama setelah Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang berjasa mewujudkan kita di dunia. Tidak ada seorangpun setelah Nabi Adam dan Nabi Isa yang terlahir tanpa proses kedua orang tua. Perjalanan panjang sejak dari setetes mani, menjadi darah kemudian segumpal daging yang akhirnya menjadi manusia yang sempurna membutuhkan perjuangan yang berat dari mereka berdua. Al-Qur’an sendiri mengilustrasikan perjuangan berat tersebut dengan lafaz “Wahnan Ala Wahnin” (lemah di atas kelemahan), (QS.Lukman;13), di ayat lain dengan kata-kata “Hamalathu Kurhan wa Wadha’athu Kurhan” (Mengandungnya dengan susah dan melahirkan dengan susah pula). (QS.Al-Ahqaf;15).
Allah Subhanahu Wa Ta’ala menceritakan semuanya dengan tujuan sebagaimana di akhir ayat, agar setiap anak manusia bisa bersyukur kepada Allah dan kepada orang tuanya. Bersyukur kepada Allah kata Syekh As-Sa’di,”Yaitu dengan beribadah kepada Allah yang menciptakanya dan jangan sampai keberadaannya di dunia untuk maksiat kepada Allah. Adapun bersyukur kepada orang tua yaitu dengan berbuat baik dan taat kepada keduanya. (Taisir Karimurrahman; hal. 597).
Kewajiban berbuat baik kepada orang tua diperintahkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan menggunakan lafaz “Wawasshaina” (Kami wasiatkan) kepada manusia (QS.Al-Ankabut;8, Lukman;14). Ini dimaksudkan agar manusia tetap ingat kepada kewajiban tersebut apapun profesi dan kedudukannya kelak. Juga Allah mensejajarkan perintah berbuat baik pada orang tua, dengan kewajiban beribadah kepada-Nya (QS.Isra’; 23), menunjukkan betapa agungnya perintah tersebut. Maka ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam ditanya perbuatan apa yang paling afdhal, beliau menjawab setelah shalat di awal waktu adalah berbakti pada orang tua (HR.Bukhari Muslim).
Suatu hari di musim haji seorang laki-laki menggendong ibunya ketika tawaf dalam keadaan yang berdesakan. Ia bertanya kepada Ibnu Umar,”Apakah dengan ini aku sudah membalas jasa ibuku ?”. Ibnu Umar menjawab,“Belum, sekalipun setetes air susunya. Dan seorang tidak akan mungkin bisa membalas jasa kedua orang tuanya kata Rasulullah, kecuali ia dapatkan bapaknya tertawan menjadi budak kemudian dia tebus dan memerdekakannya. (HR.Muslim).
Sebagai orang yang mengandung, melahirkan dan menyusui bahkan sampai dua tahun (QS.Al-Baqarah;233), ibu mestinya mendapatkan perlakuan yang lebih dibandingkan ayah. Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam,”Siapakah orang yang paling berhak untuk dilayani dengan sebaik-baiknya ?”. Beliau menjawab “Ibumu !”. “Lalu siapa lagi ?”. Beliau menjawab,“Ibumu !”. “Lalu siapa lagi ?”, Beliau menjawab ,“Ibumu !”. “Lalu siapa lagi ?”. Beliau menjawab,“Bapakmu !”. (HR.Bukhari Muslim).
Mentaati orang tua kata Imam Ahmad diwajibkan pada semua yang mubah (dibolehkan dalam agama). Kalau orang tua melarang melakukan sesuatu atau memerintahkan melakukan sesuatu sekalipun itu dalam masalah pribadi, anak harus mentaatinya. Seperti seorang ibu yang memerintahkan anaknya untuk menceraikan isterinya yang tidak taat dan tidak bisa berbuat baik pada mertuanya, ia harus melakukannya. Sebagaimana yang diceritakan oleh Abdullah bin Umar bahwa bapaknya Umar bin Khattab pernah menyuruhnya untuk menceraikan isterinya yang sangat dia cintai. Ketika itu diadukan kepada Rasulullah, beliau bersabda, “Ceraikanlah isterimu !” (HR.Abu Daud dan Tirmidzi, shahih).
Bahkan seorang tidak boleh mengorbankan hak orang tuanya sekalipun dengan tujuan ibadah Selama ibadah itu bukan hal yang wajib. Ada seorang yang datang kepada Rasulullah meminta ikut berjihad untuk mencari ridha Allah. Nabi bertanya,“Apakah orang tuamu masih hidup ?”. Dia menjawab,“Ya”. Nabi bersabda,“Maukah engkau mencari ridha Allah ?. Pulanglah dan perbaikilah cara berbaktimu pada keduanya !” (HR.Bukhari Muslim). Dalam riwayat lain Nabi bersabda,“Pulanglah dan berjihadlah pada keduanya”, (HR.Bukhari Muslim). Maksudnya berjihad dengan cara berbuat baik kepadanya. Hadits ini menunjukkan agungnya kedudukan orang tua. Berbuat baik kepadanya lebih utama daripada jihad fisabilillah. Dan kalau jihad itu Fardhhu Kifayah maka diharamkan seorang anak pergi tanpa seizin kedua orang tuanya (Riyadhusshalihin; 137).
Sekalipun orang tua berbeda agama, seorang anak tetap berkewajiban untuk berbuat baik kepadanya. (QS. Lukman;15). Asma’ binti Abu Bakar pernah mengadukan ibunya yang non muslim kepada Rasulullah yang selalu datang kepadanya minta untuk minta diperlakukan dengan baik. Nabi bersabda,“Perlakukanlah ibumu dengan cara yang baik”, (HR.Bukhari Muslim). Dan berbuat baik kepada keduanya masih diwajibkan sekalipun mereka sudah meninggal dunia. Seorang sahabat bertanya kepada Nabi, apakah masih ada hak orang tuanya setelah ia meninggal dunia. Nabi menjawab,“Mendoakannya, memohonkan ampunan untuknya, dan menyambung persahabatan yang pernah dia bina di masa hayatnya”. (HR.Ahmad )
Begitu agungnya kedudukan orang tua, maka Allah Subhanahu Wa Ta’ala melarang untuk durhaka kepada keduanya. Sekalipun hanya dengan perkataan,“Uffin !(ah), (QS.Isra’; 23). Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat ini mengatakan,“Jangan mereka mendengar kata yang tidak baik darimu walaupun sekedar perkataan “ah”, yaitu perkataan yang sangat sepele. Jangan pula keluar darimu perbuatan yang tidak layak baginya. Tetapi sebaliknya mengatakan perkataan yang lunak dan berisi penghormatan dan do’a baginya”,(Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim;III/50).
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam menganggap, durhaka kepada orang tua, termasuk salah satu dosa besar. (HR.Bukhari Muslim). Dan akibat kedurhakaannya, seorang anak bisa merasakannya semenjak di dunia. Kita masih mengingat kisah Si Malin Kundang anak durhaka. Syekh Athiyah Muhammad Salim, seorang guru besar di Masjid Nabawi pernah bercerita kepada penulis, ketika beliau menjabat sebagai Ketua Mahkamah Syariah di Madinah. Beliau pernah mengadili seorang anak yang membunuh ayahnya dengan cara menyembelihnya di balik batu besar di tengah padang pasir. Ketika ditanya kenapa melakukan pembunuhan itu dan kenapa memilih tempat di sana ?. Anak tersebut menjawab,”Sebelum saya membunuhnya, ayah saya berkata,”Di sinilah aku dulu juga membunuh ayahku”.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengajarkan do’a untuk orang tua,” Ya, Allah ! Tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang salih yang engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. (QS.Al-Ahqaf;15)
Juga taat kepada pemimpin dan siapaun selama tidak mengajak kepada kemaksiatan, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda,” Tidak boleh ta’at kepada makhluk, dalam maksiat kepada Khaliq (Allah). Juga tidak boleh taat pada orang tua dalam kemaksiatan, atau mengajak kepada kemusyrikan (QS.Lukman;15 ).
Bagi seorang isteri ta’at kepada suami merupakan sebuah ibadah dan kewajiban. Rasulullah bersabda, “Apabila wanita telah shalat lima waktu, dan puasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya, dan mentaati suaminya, maka dikatakan kepadanya; masuklah ke surga lewat pintu mana yang disuka”, (HR.Ahmad dari Abdurrahman bin Auf).
Dari Abu Hurairah, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda,”Kalau wanita diajak oleh suaminya ke ranjang, kemudian dia menolak maka malaikat akan melaknatnya sampai pagi”, (HR.Bukhari Muslim).
Semuanya ini karena besarnya tanggungjawab suami kepada isteri, sehingga dia berhak mendapatkan perlakuan dan hak seperti itu.
Ketiga, Hafidzaat (menjaga diri). Islam memuliakan wanita muslimah dari kedzaliman jahiliyah yang memperbudak wanita bahkan membunuh anak-anak wanitanya, sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala, “Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup) Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu. (QS. An-Nahl (16):58-59).
Al-Qur’an sangat memperhatikan prinsip-prinsip kesetaraan jender sebagaimana yang bisa dianalisa dengan lewat beberapa variabel sebagai standar di antaranya; laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang mempunyai potensi dan peluang yang sama untuk menjadi hamba yang ideal (muttaqin), (QS. 49:13). Penghargaan dan balasan yang akan diperoleh oleh hamba adalah sama tanpa melihat status jendernya, (QS.16:97). Sama-sama berpotensi untuk meraih prestasi di dunia dan di akherat, (QS.3:195), (QS.4:124), (QS.16:97), (QS.40:40). Beberapa bentuk kekhususan yang diberikan kepada laki-laki seperti sebagai qawwamah (pelindung) bagi perempuan, (QS.4:34), mendaptakan warisan yang lebih, (QS.4:11), diperkenankan poligami bagi yang memenuhi persyaratan, (QS.4:3), tidaklah menyebakan laki-laki menjadi hamba yang utama, tetapi harus dipahami sebagai bentuk tanggung jawab yang lebih besar kepada laki-laki dalam kapasitasnya yang mempunyai peran publik dan sosial yang lebih dari perempuan.
Untuk menjaga kehormatan dan kesucian itulah, Allah Subhanahu Wa Ta’ala memerintahkan muslimah untuk menutup auratnya dan tidak dipamerkan kepada orang yang bukan mahramnya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, » Katakanlah kepada wanita yang beriman:”Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka.Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedada mereka, dan janganlah menampakkan perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.Dan bertaubatlah kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (QS. al-Nur (24): 31). Juga firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala ,” Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin agar hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Ahzab (33):59)
Dari Abu Hurairah, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda,” Wanita yang paling baik adalah muslimah yang apabila anda melihatnya, kau akan senang, apabila kau menyuruhnya dia akan taat, dan apabila engkau tidak ada di sampingnya, dia akan menjaga dirinya dan hartamu, (HR. Ibnu Jarir)
Inilah beberapa karakteristik utama muslimah yang ideal menurut al-Qur’an dan Sunnah. semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberikan kita hidayah dan inayah-Nya kepada kita agar kita bisa menjagi hamba-hamba-Nya yang ideal, Amin!.
Wallahu A’lam bishshawab

Rujukan:
- Tafsir al-Qur’an al-Adzim oleh Imaduddin Isma’il Ibnu Katsir juz 1/653-655).
- Riyadushshalihin

Penulis: Dr. Nurul Mukhlisin Asyrafuddin, Lc., M.Ag

Tidak ada komentar:

Posting Komentar